Suatu siang di tahun 2000
Sepulang sekolah, saya menyusuri trotoar jalan Slamet Riyadi
di bawah terik matahari yang lumayan menyengat dengan ransel di punggung yang
isinya tak terlalu banyak karena sebagian buku pelajaran sengaja saya tinggal
di laci meja kelas. Di telinga terpasang earphone
yang tersambung pada walkman yang sedang
memutar album Enema of The State, sementara
sleeves bergambar Janine Lindemuder nya
tersimpan dalam ransel. Yang saya tuju adalah toko – atau dulu kami menyebutnya
dengan distro - bernama Area 27, toko kecil yang menjual segala tetek bengek
musik arus pinggir, utamanya dari ranah punk: kaset dan t-shirt bajakan hingga stiker dan gesper ber-spike.
Area 27 adalah tempat yang cukup sering saya datangi karena
hanya berjarak sekitar 1,5 km dari sekolah. Tak selalu untuk berbelanja, malah
seringnya hanya untuk melihat-lihat barang-barang ajaib – yang kebanyakan tidak
saya mengerti, tapi justru di situ letak kerennya - yang tak bisa saya temui di
tempat lain. Dan yang membuat saya lebih menyukainya adalah barang-barang di
Area 27 dijual dengan harga yang punk alias murah. Jadilah saya kerap mampir ke
toko ini sepulang sekolah di saat teman-teman saya sibuk memburu tas slempang Kuta
Lines di Planet Surf yang letaknya tepat di seberang sekolah.
Sebagai bagian dari rojali – rombongan jarang beli - siang
itu saya pun sebetulnya tidak berencana membeli apa-apa, namun ternyata takdir
menuntun saya ke jalan yang berbeda. Sesampainya di sana, seperti biasa, saya
langsung mengaduk sesi kaset yang tesusun dalam sebuah rak di sebelah depan
toko. Di sanalah saya tertegun ketika menemukan sebuah kaset dengan sampul
bergambar banteng hitam dengan mata merah menyala. Yang membuat saya tertegun
adalah di punggung banteng tertulis nama band yang kasetnya berdiam di dalam walkman: Blink 182. Dude Ranch.
“Mas, iki album Blink
sing anyar?” (“Mas, ini album Blink yang baru?”), tanya saya pada mas-mas
gondrong penjaga toko yang sudah hafal dengan wajah saya karena seringnya saya
ke sana. “Kuwi albume sing sakdurunge
malahan” (“Itu justru album yang sebelumnya”), jawabnya.
Seperti baru saja mendapat wahyu, saya pun melongo sekaligus
takjub, karena saya mengira Enema of The
State adalah album pertama Blink 182. Maklum saat itu akses informasi belum
seperti hari ini di mana informasi semacam ini hanya berjarak satu sentuhan
pada ponsel pintar.
Sedetik kemudian yang saya lakukan adalah memeriksa harga
kaset itu dan membandingkannya dengan jumlah uang di dompet. Sialnya angka yang
harus saya keluarkan untuk kaset itu akan membuat saya kekurangan ongkos
pulang. Untuk pulang saya harus naik bis ke terminal lalu disambung dengan
angkot untuk sampai ke rumah dan jika saya membeli kaset itu saya bisa membayar
ongkos bis untuk pulang tapi tidak dengan angkotnya.
Tanpa pikir panjang kaset itu saya tebus di kasir, kemudian langsung berjalan menuju halte terdekat untuk mengejar bis kota untuk pulang. Sepanjang perjalanan di dalam bis, saya memutar kaset itu lewat walkman. Keputusan yang tak pernah saya sesali karena di kaset bajakan itu saya menemukan “Dammit” yang menjadi lagu Blink 182 favorit pribadi sepanjang masa. Album itu berlanjut saya putar saat berjalan kaki dari terminal ke rumah karena saya tidak punya uang lagi untuk naik angkot.
Sabtu malam, November 2001
Malam itu saya dan beberapa teman sedang berkumpul di wartel
dekat rumah tempat kami biasa nongkrong. Seorang kawan mengenakan kaos biru merek
Moving Blue bergambar Bunny-nya Blink 182 sambil memainkan “The Rock Show” pada
gitar kopong dan yang lainnya sibuk bernyanyi dengan kemampuan bahasa Inggris
seadanya. Saya sendiri duduk menyerong dari arah si pemegang gitar sambil ikut
bernyanyi. Album Take Off Your Pants and
Jacket betul-betul membius semua anak laki-laki pada saat itu. Saya sendiri
sudah memiliki kasetnya saat itu, kali ini asli bukan bajakan, yang saya beli
di Disc Tara Singosaren setelah menabung sekitar sebulan dan selalu nongkrong
di tape deck bergantian dengan Hybrid Theory-nya Linkin Park; dua album
yang mendefinisi masa remaja saya, menggantikan kaset Dude Ranch yang mulai bapuk karena kualitas kaset bajakan yang
tidak bisa diharapkan yang akhirnya membuat saya merasa sayang untuk memutarnya
dan kaset Enema of The State kopi
kedua yang saya beli, karena kaset yang pertama pitanya rusak karena terlalu
sering diputar.
Saya sendiri semakin gencar mengulik semua yang berbau Blink 182: belajar memainkan lagu-lagunya dengan gitar kopong (bisa memainkan intro “Stay Together for The Kids” adalah salah satu lambang pergaulan saat itu), mengoleksi majalah dan poster, kaos bootleg, VCD bajakan konser Big Day Out 2000 hingga mulai memakai Chuck Taylor low karena melihat Tom DeLonge memakainya dalam sebuah foto di majalah Hai. Yang tak pernah saya lupa: menemukan VCD kompilasi bajakan yang entah bagaimana di dalamnya nyempil video klip M+M’s yang gila itu dan tak jauh dari itu mendapatkan kaset - lagi-lagi bajakan - album Chesire Cat di Area 27 dan kaget setengah mati ketika mengetahui bahwa Travis Barker bukan drummer asli Blink 182 dan yang mengisi drum di “Dammit” adalah drummer aslinya: Scott Raynor. Hal lainnya: menjadi anak SMP pertama yang memakai lip ring di sekolah karena terpengaruh Tom (dan juga Chester Bennington).
Pagi hari, 23 Oktober 2023
“Don’t hate Monday”, begitu kata banyak orang. Saya sendiri
tak pernah membenci Senin, apalagi jika beberapa hari sebelumnya Blink 182 baru
saja merilis album baru setelah empat tahun. Tapi tentu bukan hal itu yang
membuat album ini ditunggu sepenuhnya oleh penggemar di seluruh dunia, tapi
karena kembalinya si bapak alien Tom DeLonge ke dalam formasi. Saya sendiri tak
berekspektasi terlalu tinggi. Bagi saya Blink 182 selesai di album Take Off Your Pants and Jacket. Self Tittled adalah album terakhir Blink
182 yang saya beli dan saya memutuskan untuk tidak mendengarkan album-album
selanjutnya.
Namun ternyata saya salah. Album baru ini tidak jelek.
Kembalinya Tom tentu jadi faktor krusial. Blink 182 kembali
nakal. “Fuck Face” mengingatkan saya pada Blink 182 era awal yang liar dan sembarangan,
“Anthem Part 3” tidak gagal meneruskan reputasi dua part sebelumnya, “Dance
with Me” dibuka dengan sembrono oleh Tom dan chorus-nya berpotensi untuk membuat penonton sing along jika dibawakan di panggung. Untuk saya, “One More Time”
adalah nomor favorit. Entah kenapa lagu ini mengingatkan saya, yang kini adalah
suami dan ayah dengan berbagai tanggung jawab, pada masa kecil hingga remaja di
mana saya menjalani hidup seolah tanpa beban dan tanggung jawab terberat yang
saya pikul hanya PR dari guru di sekolah dan menuruti kata-kata orang tua di
rumah, sisanya adalah senang-senang. Lagu ini juga mengingatkan saya pada
teman-teman lama yang sudah lama tak saya jumpai, teman-teman yang bersama merekalah
saya banyak menghabiskan waktu remaja dengan melakukan banyak hal, termasuk
mendengarkan Blink 182.
Album One More Time
jelas bukan album terbaik dari Blink 182, tapi cukup bisa jadi penawar rindu
untuk penggemar yang menunggu trio Tom-Matt-Travis kembali menjadi satu. Bagi
saya mendengarkan album ini menjadi eksapisme sesaat dari kehidupan sebagai
orang dewasa yang ternyata jauh lebih rumit dari yang saya bayangkan. Bukan,
bukan saya tidak bahagia dengan hidup yang saya miliki saat ini. Saya amat
sangat bahagia. Namun kebahagiaan yang saya miliki berbeda dengan kebahagiaan
yang saya dapat ketika remaja dulu. Kebahagiaan yang hanya bisa dikenang namun tak
akan bisa diulang.
Well, i guess this is
growing up.