Saturday, October 28, 2023

All the Small Things about Blink 182


Suatu siang di tahun 2000

Sepulang sekolah, saya menyusuri trotoar jalan Slamet Riyadi di bawah terik matahari yang lumayan menyengat dengan ransel di punggung yang isinya tak terlalu banyak karena sebagian buku pelajaran sengaja saya tinggal di laci meja kelas. Di telinga terpasang earphone yang tersambung pada walkman yang sedang memutar album Enema of The State, sementara sleeves bergambar Janine Lindemuder nya tersimpan dalam ransel. Yang saya tuju adalah toko – atau dulu kami menyebutnya dengan distro - bernama Area 27, toko kecil yang menjual segala tetek bengek musik arus pinggir, utamanya dari ranah punk: kaset dan t-shirt bajakan hingga stiker dan gesper ber-spike.

Area 27 adalah tempat yang cukup sering saya datangi karena hanya berjarak sekitar 1,5 km dari sekolah. Tak selalu untuk berbelanja, malah seringnya hanya untuk melihat-lihat barang-barang ajaib – yang kebanyakan tidak saya mengerti, tapi justru di situ letak kerennya - yang tak bisa saya temui di tempat lain. Dan yang membuat saya lebih menyukainya adalah barang-barang di Area 27 dijual dengan harga yang punk alias murah. Jadilah saya kerap mampir ke toko ini sepulang sekolah di saat teman-teman saya sibuk memburu tas slempang Kuta Lines di Planet Surf yang letaknya tepat di seberang sekolah.

Sebagai bagian dari rojali – rombongan jarang beli - siang itu saya pun sebetulnya tidak berencana membeli apa-apa, namun ternyata takdir menuntun saya ke jalan yang berbeda. Sesampainya di sana, seperti biasa, saya langsung mengaduk sesi kaset yang tesusun dalam sebuah rak di sebelah depan toko. Di sanalah saya tertegun ketika menemukan sebuah kaset dengan sampul bergambar banteng hitam dengan mata merah menyala. Yang membuat saya tertegun adalah di punggung banteng tertulis nama band yang kasetnya berdiam di dalam walkman: Blink 182. Dude Ranch.

Mas, iki album Blink sing anyar?” (“Mas, ini album Blink yang baru?”), tanya saya pada mas-mas gondrong penjaga toko yang sudah hafal dengan wajah saya karena seringnya saya ke sana. “Kuwi albume sing sakdurunge malahan” (“Itu justru album yang sebelumnya”), jawabnya.

Seperti baru saja mendapat wahyu, saya pun melongo sekaligus takjub, karena saya mengira Enema of The State adalah album pertama Blink 182. Maklum saat itu akses informasi belum seperti hari ini di mana informasi semacam ini hanya berjarak satu sentuhan pada ponsel pintar.

Sedetik kemudian yang saya lakukan adalah memeriksa harga kaset itu dan membandingkannya dengan jumlah uang di dompet. Sialnya angka yang harus saya keluarkan untuk kaset itu akan membuat saya kekurangan ongkos pulang. Untuk pulang saya harus naik bis ke terminal lalu disambung dengan angkot untuk sampai ke rumah dan jika saya membeli kaset itu saya bisa membayar ongkos bis untuk pulang tapi tidak dengan angkotnya.

Tanpa pikir panjang kaset itu saya tebus di kasir, kemudian langsung berjalan menuju halte terdekat untuk mengejar bis kota untuk pulang. Sepanjang perjalanan di dalam bis, saya memutar kaset itu lewat walkman. Keputusan yang tak pernah saya sesali karena di kaset bajakan itu saya menemukan “Dammit” yang menjadi lagu Blink 182 favorit pribadi sepanjang masa. Album itu berlanjut saya putar saat berjalan kaki dari terminal ke rumah karena saya tidak punya uang lagi untuk naik angkot.


Sabtu malam, November 2001

Malam itu saya dan beberapa teman sedang berkumpul di wartel dekat rumah tempat kami biasa nongkrong. Seorang kawan mengenakan kaos biru merek Moving Blue bergambar Bunny-nya Blink 182 sambil memainkan “The Rock Show” pada gitar kopong dan yang lainnya sibuk bernyanyi dengan kemampuan bahasa Inggris seadanya. Saya sendiri duduk menyerong dari arah si pemegang gitar sambil ikut bernyanyi. Album Take Off Your Pants and Jacket betul-betul membius semua anak laki-laki pada saat itu. Saya sendiri sudah memiliki kasetnya saat itu, kali ini asli bukan bajakan, yang saya beli di Disc Tara Singosaren setelah menabung sekitar sebulan dan selalu nongkrong di tape deck bergantian dengan Hybrid Theory-nya Linkin Park; dua album yang mendefinisi masa remaja saya, menggantikan kaset Dude Ranch yang mulai bapuk karena kualitas kaset bajakan yang tidak bisa diharapkan yang akhirnya membuat saya merasa sayang untuk memutarnya dan kaset Enema of The State kopi kedua yang saya beli, karena kaset yang pertama pitanya rusak karena terlalu sering diputar.

Saya sendiri semakin gencar mengulik semua yang berbau Blink 182: belajar memainkan lagu-lagunya dengan gitar kopong (bisa memainkan intro “Stay Together for The Kids” adalah salah satu lambang pergaulan saat itu), mengoleksi majalah dan poster, kaos bootleg, VCD bajakan konser Big Day Out 2000 hingga mulai memakai Chuck Taylor low karena melihat Tom DeLonge memakainya dalam sebuah foto di majalah Hai. Yang tak pernah saya lupa: menemukan VCD kompilasi bajakan yang entah bagaimana di dalamnya nyempil video klip M+M’s yang gila itu dan tak jauh dari itu mendapatkan kaset - lagi-lagi bajakan - album Chesire Cat di Area 27 dan kaget setengah mati ketika mengetahui bahwa Travis Barker bukan drummer asli Blink 182 dan yang mengisi drum di “Dammit” adalah drummer aslinya: Scott Raynor. Hal lainnya: menjadi anak SMP pertama yang memakai lip ring di sekolah karena terpengaruh Tom (dan juga Chester Bennington).


Pagi hari, 23 Oktober 2023

“Don’t hate Monday”, begitu kata banyak orang. Saya sendiri tak pernah membenci Senin, apalagi jika beberapa hari sebelumnya Blink 182 baru saja merilis album baru setelah empat tahun. Tapi tentu bukan hal itu yang membuat album ini ditunggu sepenuhnya oleh penggemar di seluruh dunia, tapi karena kembalinya si bapak alien Tom DeLonge ke dalam formasi. Saya sendiri tak berekspektasi terlalu tinggi. Bagi saya Blink 182 selesai di album Take Off Your Pants and Jacket. Self Tittled adalah album terakhir Blink 182 yang saya beli dan saya memutuskan untuk tidak mendengarkan album-album selanjutnya.

Namun ternyata saya salah. Album baru ini tidak jelek.

Kembalinya Tom tentu jadi faktor krusial. Blink 182 kembali nakal. “Fuck Face” mengingatkan saya pada Blink 182 era awal yang liar dan sembarangan, “Anthem Part 3” tidak gagal meneruskan reputasi dua part sebelumnya, “Dance with Me” dibuka dengan sembrono oleh Tom dan chorus-nya berpotensi untuk membuat penonton sing along jika dibawakan di panggung. Untuk saya, “One More Time” adalah nomor favorit. Entah kenapa lagu ini mengingatkan saya, yang kini adalah suami dan ayah dengan berbagai tanggung jawab, pada masa kecil hingga remaja di mana saya menjalani hidup seolah tanpa beban dan tanggung jawab terberat yang saya pikul hanya PR dari guru di sekolah dan menuruti kata-kata orang tua di rumah, sisanya adalah senang-senang. Lagu ini juga mengingatkan saya pada teman-teman lama yang sudah lama tak saya jumpai, teman-teman yang bersama merekalah saya banyak menghabiskan waktu remaja dengan melakukan banyak hal, termasuk mendengarkan Blink 182.

Album One More Time jelas bukan album terbaik dari Blink 182, tapi cukup bisa jadi penawar rindu untuk penggemar yang menunggu trio Tom-Matt-Travis kembali menjadi satu. Bagi saya mendengarkan album ini menjadi eksapisme sesaat dari kehidupan sebagai orang dewasa yang ternyata jauh lebih rumit dari yang saya bayangkan. Bukan, bukan saya tidak bahagia dengan hidup yang saya miliki saat ini. Saya amat sangat bahagia. Namun kebahagiaan yang saya miliki berbeda dengan kebahagiaan yang saya dapat ketika remaja dulu. Kebahagiaan yang hanya bisa dikenang namun tak akan bisa diulang.

Well, i guess this is growing up.

Monday, May 8, 2023

Record Store Day Solo 2023


Walaupun termasuk dalam golongan #ramudengmusik, Record Store Day adalah salah satu momen yang saya tunggu tiap tahun. Sebagai bagian dari generasi yang mengenal musik lewat kaset pita tentu saja menyenangkan untuk ikut serta dalam pesta perayaan rilisan fisik; mengurut satu per satu ribuan kaset dan cakram yang dipajang sambil mengagumi artwork yang tercetak di sampul-sampulnya sambil menimbang mana yang akan ditebus dan dibawa pulang. Persis seperti yang saya lakukan waktu kecil dulu saat menghabiskan berjam-jam di deretan rak Disc Tara.

Ditambah lagi beberapa bulan lalu saya punya pengalaman tak terlupa mengenai rilisan fisik.

Tahun 1998 saya yang waktu itu kelas 5 SD untuk pertama kalinya mendengarkan album Tujuh milik Slank via kaset pinjaman. Dan sejak saat itu Bimbim, Kaka, Ridho, Abdee dan Ivanka adalah sosok pahlawan untuk saya. Pandawa rock n roll dari kerajaan Potlotdipura. Kaset pinjaman itu pun tak pernah saya kembalikan pada pemiliknya. Tak berselang lama Slank merilis album Konser Piss 30 Kota yang menjadi kaset Slank pertama yang saya beli.

Fast forward 24 tahun kemudian. Saya sedang berada di dalam tenda sarnafil serba putih, berbincang ringan dengan Ivan Kurniawan Arifin tentang konser yang sebentar lagi akan dilakoninya. Menyerong di depan saya - hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempat saya berdiri – Bimbim, Kaka dan Ridho sedang jamming untuk pemanasan. Di tangan saya tergenggam kaset Konser Piss 30 Kota. Kaset yang sama dari tahun 1998. Namun bedanya, kali ini ada tanda tangan yang baru saja dibubuhkan oleh empat personil Slank di sleeve-nya yang berwarna putih, minus gitaris Abdee Negara yang malam itu ditempatkan di tenda terpisah karena alasan kesehatan. Bagi saya ini adalah mimpi yang jadi nyata. Dan saya selamanya berhutang kepada seorang kawan baik, Rico Lubis, untuk yang satu ini.

Bayangkan: kaset yang menemani saya melalui masa kecil hingga remaja akhirnya dipegang dan ditanda tangani oleh para musisinya. Kaset yang sama. Kaset yang telah saya putar ratusan atau bahkan ribuan kali hingga pitanya menyerah pada usia namun tetap saya simpan karena memorinya. Satu hal yang rasanya tidak akan bisa dilakukan oleh rilisan digital di Spotify atau Apple Music.

Satu hal lain yang secara krusial mendasari ketertarikan saya terhadap Record Store Day adalah file PDF berisi 39 halaman berjudul RSD ’15; Seberapa Besar Rp.500.000,- Dapat Bicara di Record Store Day? yang ditulis oleh Rio Tantomo dalam pseudonym Dr.Marto. Sampai hari ini PDF itu masih sering saya baca ulang dan masih menjadi salah satu bacaan terbaik yang pernah saya baca. Saya beri tahu, itu tulisan yang benar-benar gila.


Minggu, 30 April 2023, sekitar jam 6 sore. Suaka Coffee sudah penuh disesaki orang ketika saya datang bersama Galih Surya, frontman ganteng yang dulunya adalah idola remaja putri kota ini. Lapak-lapak berderet mengundang para hadirin untuk menyisir apapun yang dihidangkan: kaset, CD, vinyl hingga merchandise. Inilah perayaannya. Record Store Day Solo 2023.

Sebelum menyambangi deretan lapak, di sebelah depan terdapat Spinning Session Corner hasil inisiasi kolektif Surakarstage di mana para tetamu bisa memutar piringan hitam yang dibawa lewat pemutar yang disediakan. Pojok menyenangkan yang ditunggui langsung oleh dua pawangnya: Angga Bakti dan Eden Pratama. Saya menyalami keduanya sebentar dan kemudian masuk ke area belakang. Di belakang, tak pakai lama saya langsung menjumpai wajah-wajah familiar: pegiat muda, abang-abangan hingga om-om skena.

Tak lama berselang, MC Fajar Dwinanto memulai talkshow bertajuk “A Production in a Band” bersama Krisna Bhaskara, In Magma, Ndaru Diarma Putra dan Topik Sudirman. Nama terakhir memang saya tunggu secara khusus, karena rekam jejaknya yang cukup jadi perbincangan (paling tidak untuk ukuran lokal Solo) di kancah. Dan benar saja, frontman Fisip Meraung ini kontan menjadi pusat perhatian ketika membicarakan TikTok sebagai sarana promosi sebuah band. Ya, TikTok. Dalam talkshow Record Store Day seperti ini. Tak tahu hadirin yang lain, tapi saya dan Genta Lubawan yang kebetulan duduk di sebelah saya jelas mendapat insight dan pengetahuan baru dari apa yang disampaikan Topik barusan.

Satu hal yang agak saya sesali adalah kenyataan bahwa saya pulang dari Suaka dengan tangan kosong tanpa membeli apapun, karena terlalu asyik ngobrol sana-sini hingga tidak sempat menginspeksi tiap lapak dengan teliti. Sejujurnya, saya berharap menemukan kaset atau CD old school hip hop yang akan dengan senang hati untuk saya giring masuk kandang. Tapi tak apa. Karena bagi saya Record Store Day kali ini sangat menyenangkan. Bahkan dari segi venue, bagi saya ini adalah yang terbaik yang pernah saya datangi – tak terlalu besar dan saya suka suasananya. Akhir kata, topi terangkat setinggi-tingginya untuk barisan panitia Record Store Day Solo 2023. Sampai jumpa tahun depan! (Arthur Garincha)

Pictures by: Serene Atelier

Wednesday, October 5, 2022

13 Years of Change - Malinoa


Tahun 2018 silam saya pernah berdoa di lini masa. Bunyinya kira-kira seperti ini: semoga suatu hari kelak di kota Solo akan ada rapper dan album rap yang keren (berdasarkan tolok ukur selera pribadi, tentu saja). Mungkin karena catatan amal ibadah saya yang kurang baik, Tuhan baru mengabulkannya empat tahun kemudian, saat Malinoa melepas album 13 years of Change.

Sesungguhnya Malinoa bukan wajah baru di kancah hip hop kota ini. Saya sudah lama mengenal pria bernama asli Jojo Nugraha ini sejak ia sibuk menirukan bebunyian instrumen bersama gerombolan Solo Beatbox Community circa 2009-2010. Selain itu Jojo juga sempat tergabung dalam rap group bernama GASH yang sayangnya berumur tak terlalu panjang. Sempat cukup lama tak terdengar rimbanya, kini ia kembali dengan seringai taring paling tajam yang pernah dimiliki kancah repet kata kota Solo. Tak hanya sendiri, ia membawa serta kawanan MC lapar dalam gerbong Malino Records pimpinannya.

Tahun 2019 Jojo sempat merilis album potekan bersama dengan seorang kompatriot penyembur kata dari Cirebon bernama Biggy. Album super mentah berjudul Aksi Mingguan yang cukup menyegarkan di tengah skena yang kering kerontang. Dan kini 13 Years of Change muncul dengan tingkatan yang benar-benar berbeda: delapan track penuh liur multi silabel beralaskan musik yang – ah – memuaskan.

Sejak Aksi Mingguan saya selalu menyebut Jojo sebagai penulis rima yang hebat. 13 Years of Change kembali menegaskan hal itu. Formula rima hasil keimanan tebal terhadap MF Doom dan saya tebak (seharusnya juga) Rakim, dilengkapi dengan metafora tingkat mumpun dan flow penuh jebakan yang membuat para pendengarnya tersedak.

--- 

Apa pedulimu dengan kucing jalanan?
Apa pedulimu dengan anjung jalanan?
Korek sampah busuk depan rumah
Makan sisa daging kolonel yang tersenyum ramah
Kokang pistol, golok diasah
Tarik pelatuk, kucing anjing berlumur darah

Lingkar Merah menyeruak pada urutan putar nomor tiga. Sebuah langgam kemarahan terhadap laku kejam manusia terhadap satwa yang dimuntahkan lewat word play berberang-berang tanpa tedeng aling-aling. Musiknya mengayun santai namun murung. Sempalan Madlib dan J-Dilla dengan oplosan tuts G-Funk pesisir barat, yang saya tebak adalah hasil campur tangan Ayu Mitha Radila sebagai pembuat musik. Jenis lagu yang akan membuatmu ejakulasi telinga jika dibawakan dengan format ala Tiny Desk Concert.

Namun bukan lagu itu yang jadi favorit saya. Melainkan yang lantang menampar di antrian lima: Round 2. Drum breaks rancak dengan bassline genit dan seksi tiup super funky yang tak akan kuasa ditolak oleh bboys manapun di tengah cypher. Bayangkan Too Phat dengan bboys-nya di atas panggung. Atau Limp Bizkit menggandeng Rock Steady Crew ketika membawakan Jump Around di UNO Lakefront Arena tahun 98. Liriknya pun ganas: tentang para orang tua bebal yang selalu menganggap generasi setelah mereka adalah sampah, lengkap dengan kisah glorifikasi masa lalu yang seringnya dilebih-lebihkan.

Berhenti sedikit rehat dalam rubanah
Menerka apa yang terjadi di atas permukaan tanah
Sayup sayup terdengar orasi merekalah dewa
Patokan dalam skena tersirat seperti fatwa
Bahwa, tua tetap saja berkuasa
Karena muda tetap saja jadi mangsa

Atau yang satu ini

Para aktor, gunakan elevator
Tanpa lewat detektor, agitator yang kotor
Deklarasi auditor, rancangan simulator
Atas nama senior silahkan saja jadi mentor

Familiar?

---

Pada akhirnya, saran terbaik yang bisa saya berikan adalah agar kalian segera membeli rilisan fisik 13 Years of Change karena – menurut empunya langsung – versi lengkap album ini tidak akan tersedia di kanal digital manapun. Hal menyenangkan lainnya dari membeli album ini adalah kalian juga bisa mendapatkan booklet berisi lirik dan cerita di balik tiap lagu. Sebagai bagian dari generasi yang membaca lirik yang tercetak di sleeves ketika memutar kaset di deck, tentu saja ini hal yang menyenangkan bagi saya.

 Dan, ya, Malinoa adalah alasan kenapa saya kembali mendatangi acara hip hop lokal lagi. (Arthur Garincha)

Thursday, February 3, 2022

Car Crash Coma's Smoke Break Rendezvouz


Sejujurnya – dengan segala hormat kepada semua kawan baik – saya tidak pernah bisa mengikuti dengan seksama satupun musisi lokal yang pernah dihasilkan oleh kota ini. Bahkan di genre yang saya sukai sekalipun. Bisa jadi karena referensi pribadi yang sempit atau mungkin memang selera saya yang kurang ‘nyampe’ dan membuat saya terjerumus dalam golongan #ramudengmusik.

Tapi Car Crash Coma (CCC) nampaknya adalah pengecualian.

Sejak kemunculannya pada 2019 silam gerombolan yang menyebut dirinya ‘The Real Scounderlland Trash Bag’ - sebagaimana yang tercantum dalam laman Instagram mereka – ini memang cukup menyita perhatian dan telinga. Tak satupun rilisan mereka yang terlewatkan: Prologue; Demo 2019, 10.08 Alternate Version dan Prologue; Demo 2019 Side-B di 2019, Bloom As You Please (2020) hingga Poison Garden (2021).

Dan adalah rilisan teranyar mereka yang baru saja dilepas via Bandcamp yang membuat saya tak bisa lagi mengelak bahwa saya adalah seorang Sobat Car Crash (atau Car Crash Mania?). "I'LL PACK MY THINGS UP 2022CCC MAXI SINGLE" berisikan dua nomor alternative-rock penggerus nadi. Saya bukan ahli musik, apalagi menyoal tetek bengek genre, tapi saya akan merangkumnya dalam satu kata: MTV.

“Smoke Break Rendezvouz” adalah favorit saya. Intro-nya mengingatkan saya pada “Semi-Charmed Life”-nya Third Eye Blind yang rutin saya dengarkan lewat tarikan pita walkman Aiwa butut dua puluh empat tahun silam. Yang tersaji selebihnya adalah chord dan sound sederhana khas 90-an yang menyenangkan sebagai kanvas bagi lirik yang bercerita tentang the right person in the wrong time.

Saya menganggap bagian chorus lagu ini adalah puncak pencapaian Antonio Dandy sebagai seorang penulis lirik hingga tulisan ini dibuat. Kombinasi diksi catchy dan notasi ramah telinga yang akan memicu choir dadakan dari penonton ketika dibawakan di panggung.

Bagi yang masih asing, Antonio Dandy adalah founder, penulis lagu sekaligus frontman CCC. Dandy bagi CCC adalah sinonim Grohl bagi Foo Fighters atau Levine bagi Maroon 5. Orang ini adalah nahkodanya. Rocker keras kepala yang besar kemungkinan akan diberi label menye oleh kawan paling macho di tongkronganmu, namun tetap saja, dia melakukan hal yang disukai dengan keyakinan anti goyang.

Yang menyenangkan dari mendengarkan CCC adalah mereka bisa membuatmu mengecap kembali rasanya patah hati di usia remaja – bagi kalian yang sudah melampauinya. Meromantisme kehilangan dan merayakannya lewat musik. Bagi yang belum pernah merasakannya, bersiaplah, karena itu tidak akan mudah. Mendengarkan CCC mungkin akan bisa membantumu dalam melaluinya ketika saatnya tiba nanti, katakanlah sebagai musik latar ketika meratap sendirian di dalam kamar yang terkunci atau saat  mengendarai sepeda motor sendirian tanpa tujuan.

Seperti yang mereka lakukan dalam “Parting Gift”, ode bunuh diri bagi mereka yang ditinggal yang terkasih menuju altar pernikahan dengan iringan tuts piano yang entah kenapa mengingatkan saya pada – sial!- Simple Plan. Lagu yang berpotensi menjadi anthem bagi mereka yang ditinggalkan. Bayangkan ini: seorang pemuda mabuk kebanyakan ciu yang menangis di barisan depan ketika Nella Kharisma membawakan lagu “Ditinggal Rabi” dari atas panggung.

Brengsek. (Arthur Garincha)

Wednesday, July 21, 2021

It's Not Coming Home Yet

Agak surreal rasanya melihat Inggris memastikan diri berlaga di laga puncak Piala Eropa 2020 setelah meniup padam sumbu tim dinamit Denmark di babak semifinal. Sejujurnya, rasa takjub sudah muncul ketika Raheem Sterling dan Harry Kane memaksa panser Bavaria pulang kandang di babak 16 besar. Girang tentu saja, tapi tak berani berharap lebih, mengingat bagaimana reputasi Inggris dalam menghancurkan harapan pendukungnya sendiri, terutama dalam turnamen besar. Tapi toh, kalimat sakral itu terlalu sulit untuk tidak diucapkan: It’s coming home.

Sejauh ingatan, terakhir kali saya menggantungkan harapan tinggi bahwa Inggris akan berprestasi adalah pada Piala Dunia 98 yang pupus ketika The Three Lions ditekuk Argentina di perempat final dengan David Beckham sebagai pesakitannya. Selepas itu, saya tak pernah benar-benar berharap Inggris akan memenangkan sesuatu. Langit biru, rumput hijau dan Inggris akan selalu butut dalam turnamen.

---

Dua puluh tiga tahun dari malam di Geoffroy-Guichard, harapan itu timbul kembali untuk pertama kalinya. Inggris akan menghadapi Italia dalam partai final di Wembley. Kondisi yang tidak bisa lebih tepat lagi untuk mewujudkan narasi It’s Coming Home.

Gol cepat Luke Shaw – yang posturnya mengingatkan saya pada Wayne Rooney - ke gawang Gianluigi Donnarumma di awal laga seolah menegaskannya: kisah heroik Inggris sudah berjalan sesuai skenario yang tertulis dalam takdir. Tiap pendukung Inggris pun semakin yakin tanah perjanjian semakin dekat. Namun rupanya Leonardo Bonucci salah membaca script. Alih-alih kerepotan menahan gempuran Inggris, centre-back Juventus itu malah mencetak gol ke gawang Jordan Pickford yang membuat kedudukan seimbang.

Saat hasil pertandingan harus ditentukan lewat adu pinalti, sesungguhnya saya sudah tak berharap banyak Inggris akan menang karena Inggris memiliki catatan buruk dalam tos-tosan. Sebut ini kutukan atau apa saja sesuka anda, tapi bisa-bisanya semesta sempat membesarkan kembali harapan kami, para pendukung Inggris, saat penendang kedua tim Azzuri, Andrea Belotti, tendangannya berhasil diblok Jordan Pickford. Sayangnya, tiga eksekutor terakhir Inggris semuanya gagal yang membuat Itali keluar sebagai pemuncak.

Bagi pelatih Inggris, Gareth Southgate, kekalahan dalam adu pinalti ini seperti flashback ke dua puluh lima tahun lalu, ketika tendangan pinaltinya digagalkan kiper Jerman, Andy Kopke, pada Piala Eropa 96. Kegagalan yang membuat Inggris tersingkir. Momen kegagalan Southgate pada 96 seakan menjadi ‘tolok ukur’ bagi momen-momen kegagalan timnas Inggris selanjutnya. Yang lebih membuatnya tragis adalah kejadian tahun 1996 dan 2021 sama-sama terjadi di Wembley.

Kecewa? Pasti.

Apakah memutuskan untuk berhenti mendukung Inggris?

Tentu tidak. Saya sudah terlalu terlatih untuk hal semacam ini.

Dan andai saya ingin berhenti pun, saya tidak tahu caranya.

It’s not coming home yet.

Thursday, March 25, 2021

Kejap Vakansi

Berhenti di 15, begitu empat serigala melolong dengan oktan tinggi. Sementara The Verge mengatakan rentang usia 13 hingga 16 tahun adalah puncak selera musikal seseorang. Yang membuat saya coba rabun meraba apa apa saja yang saya dengarkan saat seusia itu.

---

Jawabannya pasti tak jauh-jauh dari menduplikasi Chester Bennington - ketika tidak sedang sibuk menggilai cekikan dasi Avril Lavigne era Let Go - akibat dari sengat Hybrid Theory yang demikian kuatnya: menjabrikkan rambut hingga melubangi bibir dengan paku jarum di warung depan sekolah. Yang kemudian hari menyisakan sesal seumur hidup karena tak sempat menyaksikan langsung sekalipun penampilan mereka hingga Chester berpulang. Samar membayang putaran kesekian dari "Papercut" meluncur lewat walkman butut di lantai atas bus bertingkat.

Pula jangan dilupakan: pose siap suntik Janine Lindemulder di sampul Enema of the State yang menjadi mimpi basah jutaan remaja tanggung era itu. "Alien Exist", dan tentu saja ketika trio California itu merekayasa Backstreet Boys, 98 Degrees dan 'N Sync menjadi lebih gagah lewat "All the Small Things". Yang kemudian dilanjutkan dengan Take Off Your Pants and Jacket, album terakhir Blink-182 yang saya beli - keputusan yang tepat, karena album-album selanjutnya butut setengah mati. "First Date" dan "The Rock Show" selalu memenuhi dinding kamar ketika saya belajar memainkan intro "Stay Together for the Kids" di atas senar yang berkarat.

---

Saya bukan penikmat Limp Bizkit yang taat, namun saya akui saya pernah bertahun-tahun memakai snapback Yankees warna merah demi terlihat seperti Fred Durst di klip "Rollin" dan riasan Wes Borland saat itu yang entah kenapa mengingatkan saya pada Gambit. Lalu ketat menghimpit, dua album candu sepanjang masa: Californication dan Warning; dari desir padang pasir "Scar Tissue" ke gocekan gitar Billy Joe Armstrong pada parade kota "Minority".

Dari kancah hip hop tentu saja dua peluru berintikan rima kebut milik sang Rap God: The Marshall Mathers LP dan The Eminem Show, utamanya The Marshall Mathers di mana lagu paling jenius dalam jagad rap termuat: "Stan". Dan "Lose Yourself" dalam 8 Mile menggenapinya dengan sebagaimana mestinya.

---

Dan saat ini - ketika jam berbunyi 21:34 di kamar yang kuning - saya memutuskan untuk menyusun daftar putar berisikan lagu-lagu tersebut di atas demi kejap vakansi ke waktu-waktu yang menyenangkan itu.

Friday, March 12, 2021

Memoar Kampus Biru: Selamat Ulang Tahun, UNS!

Benar adanya bahwa mendengarkan musik-musik dari era keemasan selera adalah cara ketiga paling ampuh untuk memperbaiki suasana hati yang teruk, berada tepat setelah mendapat uang sebesar 200 milyar dan berkencan dengan Emma Stone. Sementara "Basket Case" meluncur deras dari pengeras.

---

Unggahan seorang mantan primadona kampus mengirim sinyal peringatan: Universitas Sebelas Maret sedang berulang tahun, kali ini yang ke-45. Gedung oranye yang akan selamanya lekat pada ingatan, di mana saya menghabiskan salah satu kurun terbaik dalam hidup. "Di Udara", "Disko Darurat" dan kemudian "Ada Yang Hilang" terputar tumpang tindih di kepala demi citra yang sempurna: dokumentasi masa muda penuh bara pada semua organ yang sama sekali tak tersesali.

Aksi silat ide dan gagasan serta tindak sempal sembrono yang mustahil kami ulangi di usia yang sekarang, lengkap dengan ludah bravado penanda angka 21 selamanya hingga problematika cinta monyet. Yang kemudian terputar adalah rentetan tindakan tolol: terkapar di kamar mandi hingga penggrebekan manuver mesum sepasang badan eksekutif.

"Kita hanya muda satu kali".

Dan saya tidak menyesal melewatkan yang satu kali itu di tempat ini.

---

Sudah sekian tahun berlalu ketika saya melangkah meninggalkan gerbangnya, tapi saya tahu saya tidak pernah bisa benar-benar pergi. Tangan yang menulis tulisan ini adalah tangan yang ditempa oleh kepingan tempe goreng hangat kantin Bu Yuni hingga sengatan listrik Sambal Petir. Dan tiap kali mata ini melihat gerbang berkilauan itu saya akan selalu kembali ke lesat kuda besi di satu siang yang panas saat mengejar jam kuliah di tahun 2009.

Sekali lagi: Selamat ulang tahun, UNS!