Saturday, October 28, 2023

All the Small Things about Blink 182


Suatu siang di tahun 2000

Sepulang sekolah, saya menyusuri trotoar jalan Slamet Riyadi di bawah terik matahari yang lumayan menyengat dengan ransel di punggung yang isinya tak terlalu banyak karena sebagian buku pelajaran sengaja saya tinggal di laci meja kelas. Di telinga terpasang earphone yang tersambung pada walkman yang sedang memutar album Enema of The State, sementara sleeves bergambar Janine Lindemuder nya tersimpan dalam ransel. Yang saya tuju adalah toko – atau dulu kami menyebutnya dengan distro - bernama Area 27, toko kecil yang menjual segala tetek bengek musik arus pinggir, utamanya dari ranah punk: kaset dan t-shirt bajakan hingga stiker dan gesper ber-spike.

Area 27 adalah tempat yang cukup sering saya datangi karena hanya berjarak sekitar 1,5 km dari sekolah. Tak selalu untuk berbelanja, malah seringnya hanya untuk melihat-lihat barang-barang ajaib – yang kebanyakan tidak saya mengerti, tapi justru di situ letak kerennya - yang tak bisa saya temui di tempat lain. Dan yang membuat saya lebih menyukainya adalah barang-barang di Area 27 dijual dengan harga yang punk alias murah. Jadilah saya kerap mampir ke toko ini sepulang sekolah di saat teman-teman saya sibuk memburu tas slempang Kuta Lines di Planet Surf yang letaknya tepat di seberang sekolah.

Sebagai bagian dari rojali – rombongan jarang beli - siang itu saya pun sebetulnya tidak berencana membeli apa-apa, namun ternyata takdir menuntun saya ke jalan yang berbeda. Sesampainya di sana, seperti biasa, saya langsung mengaduk sesi kaset yang tesusun dalam sebuah rak di sebelah depan toko. Di sanalah saya tertegun ketika menemukan sebuah kaset dengan sampul bergambar banteng hitam dengan mata merah menyala. Yang membuat saya tertegun adalah di punggung banteng tertulis nama band yang kasetnya berdiam di dalam walkman: Blink 182. Dude Ranch.

Mas, iki album Blink sing anyar?” (“Mas, ini album Blink yang baru?”), tanya saya pada mas-mas gondrong penjaga toko yang sudah hafal dengan wajah saya karena seringnya saya ke sana. “Kuwi albume sing sakdurunge malahan” (“Itu justru album yang sebelumnya”), jawabnya.

Seperti baru saja mendapat wahyu, saya pun melongo sekaligus takjub, karena saya mengira Enema of The State adalah album pertama Blink 182. Maklum saat itu akses informasi belum seperti hari ini di mana informasi semacam ini hanya berjarak satu sentuhan pada ponsel pintar.

Sedetik kemudian yang saya lakukan adalah memeriksa harga kaset itu dan membandingkannya dengan jumlah uang di dompet. Sialnya angka yang harus saya keluarkan untuk kaset itu akan membuat saya kekurangan ongkos pulang. Untuk pulang saya harus naik bis ke terminal lalu disambung dengan angkot untuk sampai ke rumah dan jika saya membeli kaset itu saya bisa membayar ongkos bis untuk pulang tapi tidak dengan angkotnya.

Tanpa pikir panjang kaset itu saya tebus di kasir, kemudian langsung berjalan menuju halte terdekat untuk mengejar bis kota untuk pulang. Sepanjang perjalanan di dalam bis, saya memutar kaset itu lewat walkman. Keputusan yang tak pernah saya sesali karena di kaset bajakan itu saya menemukan “Dammit” yang menjadi lagu Blink 182 favorit pribadi sepanjang masa. Album itu berlanjut saya putar saat berjalan kaki dari terminal ke rumah karena saya tidak punya uang lagi untuk naik angkot.


Sabtu malam, November 2001

Malam itu saya dan beberapa teman sedang berkumpul di wartel dekat rumah tempat kami biasa nongkrong. Seorang kawan mengenakan kaos biru merek Moving Blue bergambar Bunny-nya Blink 182 sambil memainkan “The Rock Show” pada gitar kopong dan yang lainnya sibuk bernyanyi dengan kemampuan bahasa Inggris seadanya. Saya sendiri duduk menyerong dari arah si pemegang gitar sambil ikut bernyanyi. Album Take Off Your Pants and Jacket betul-betul membius semua anak laki-laki pada saat itu. Saya sendiri sudah memiliki kasetnya saat itu, kali ini asli bukan bajakan, yang saya beli di Disc Tara Singosaren setelah menabung sekitar sebulan dan selalu nongkrong di tape deck bergantian dengan Hybrid Theory-nya Linkin Park; dua album yang mendefinisi masa remaja saya, menggantikan kaset Dude Ranch yang mulai bapuk karena kualitas kaset bajakan yang tidak bisa diharapkan yang akhirnya membuat saya merasa sayang untuk memutarnya dan kaset Enema of The State kopi kedua yang saya beli, karena kaset yang pertama pitanya rusak karena terlalu sering diputar.

Saya sendiri semakin gencar mengulik semua yang berbau Blink 182: belajar memainkan lagu-lagunya dengan gitar kopong (bisa memainkan intro “Stay Together for The Kids” adalah salah satu lambang pergaulan saat itu), mengoleksi majalah dan poster, kaos bootleg, VCD bajakan konser Big Day Out 2000 hingga mulai memakai Chuck Taylor low karena melihat Tom DeLonge memakainya dalam sebuah foto di majalah Hai. Yang tak pernah saya lupa: menemukan VCD kompilasi bajakan yang entah bagaimana di dalamnya nyempil video klip M+M’s yang gila itu dan tak jauh dari itu mendapatkan kaset - lagi-lagi bajakan - album Chesire Cat di Area 27 dan kaget setengah mati ketika mengetahui bahwa Travis Barker bukan drummer asli Blink 182 dan yang mengisi drum di “Dammit” adalah drummer aslinya: Scott Raynor. Hal lainnya: menjadi anak SMP pertama yang memakai lip ring di sekolah karena terpengaruh Tom (dan juga Chester Bennington).


Pagi hari, 23 Oktober 2023

“Don’t hate Monday”, begitu kata banyak orang. Saya sendiri tak pernah membenci Senin, apalagi jika beberapa hari sebelumnya Blink 182 baru saja merilis album baru setelah empat tahun. Tapi tentu bukan hal itu yang membuat album ini ditunggu sepenuhnya oleh penggemar di seluruh dunia, tapi karena kembalinya si bapak alien Tom DeLonge ke dalam formasi. Saya sendiri tak berekspektasi terlalu tinggi. Bagi saya Blink 182 selesai di album Take Off Your Pants and Jacket. Self Tittled adalah album terakhir Blink 182 yang saya beli dan saya memutuskan untuk tidak mendengarkan album-album selanjutnya.

Namun ternyata saya salah. Album baru ini tidak jelek.

Kembalinya Tom tentu jadi faktor krusial. Blink 182 kembali nakal. “Fuck Face” mengingatkan saya pada Blink 182 era awal yang liar dan sembarangan, “Anthem Part 3” tidak gagal meneruskan reputasi dua part sebelumnya, “Dance with Me” dibuka dengan sembrono oleh Tom dan chorus-nya berpotensi untuk membuat penonton sing along jika dibawakan di panggung. Untuk saya, “One More Time” adalah nomor favorit. Entah kenapa lagu ini mengingatkan saya, yang kini adalah suami dan ayah dengan berbagai tanggung jawab, pada masa kecil hingga remaja di mana saya menjalani hidup seolah tanpa beban dan tanggung jawab terberat yang saya pikul hanya PR dari guru di sekolah dan menuruti kata-kata orang tua di rumah, sisanya adalah senang-senang. Lagu ini juga mengingatkan saya pada teman-teman lama yang sudah lama tak saya jumpai, teman-teman yang bersama merekalah saya banyak menghabiskan waktu remaja dengan melakukan banyak hal, termasuk mendengarkan Blink 182.

Album One More Time jelas bukan album terbaik dari Blink 182, tapi cukup bisa jadi penawar rindu untuk penggemar yang menunggu trio Tom-Matt-Travis kembali menjadi satu. Bagi saya mendengarkan album ini menjadi eksapisme sesaat dari kehidupan sebagai orang dewasa yang ternyata jauh lebih rumit dari yang saya bayangkan. Bukan, bukan saya tidak bahagia dengan hidup yang saya miliki saat ini. Saya amat sangat bahagia. Namun kebahagiaan yang saya miliki berbeda dengan kebahagiaan yang saya dapat ketika remaja dulu. Kebahagiaan yang hanya bisa dikenang namun tak akan bisa diulang.

Well, i guess this is growing up.

No comments:

Post a Comment