Agak surreal rasanya melihat Inggris memastikan diri berlaga di laga puncak Piala Eropa 2020 setelah meniup padam sumbu tim dinamit Denmark di babak semifinal. Sejujurnya, rasa takjub sudah muncul ketika Raheem Sterling dan Harry Kane memaksa panser Bavaria pulang kandang di babak 16 besar. Girang tentu saja, tapi tak berani berharap lebih, mengingat bagaimana reputasi Inggris dalam menghancurkan harapan pendukungnya sendiri, terutama dalam turnamen besar. Tapi toh, kalimat sakral itu terlalu sulit untuk tidak diucapkan: It’s coming home.
Sejauh ingatan, terakhir kali saya menggantungkan harapan
tinggi bahwa Inggris akan berprestasi adalah pada Piala Dunia 98 yang pupus
ketika The Three Lions ditekuk Argentina di perempat final dengan David Beckham
sebagai pesakitannya. Selepas itu, saya tak pernah benar-benar berharap Inggris
akan memenangkan sesuatu. Langit biru, rumput hijau dan Inggris akan selalu
butut dalam turnamen.
---
Dua puluh tiga tahun dari malam di Geoffroy-Guichard,
harapan itu timbul kembali untuk pertama kalinya. Inggris akan menghadapi
Italia dalam partai final di Wembley. Kondisi yang tidak bisa lebih tepat lagi
untuk mewujudkan narasi It’s Coming Home.
Gol cepat Luke Shaw – yang posturnya mengingatkan saya pada
Wayne Rooney - ke gawang Gianluigi Donnarumma di awal laga seolah
menegaskannya: kisah heroik Inggris sudah berjalan sesuai skenario yang
tertulis dalam takdir. Tiap pendukung Inggris pun semakin yakin tanah
perjanjian semakin dekat. Namun rupanya Leonardo Bonucci salah membaca script.
Alih-alih kerepotan menahan gempuran Inggris, centre-back Juventus itu malah
mencetak gol ke gawang Jordan Pickford yang membuat kedudukan seimbang.
Saat hasil pertandingan harus ditentukan lewat adu pinalti,
sesungguhnya saya sudah tak berharap banyak Inggris akan menang karena Inggris
memiliki catatan buruk dalam tos-tosan. Sebut ini kutukan atau apa saja sesuka
anda, tapi bisa-bisanya semesta sempat membesarkan kembali harapan kami, para
pendukung Inggris, saat penendang kedua tim Azzuri, Andrea Belotti,
tendangannya berhasil diblok Jordan Pickford. Sayangnya, tiga eksekutor
terakhir Inggris semuanya gagal yang membuat Itali keluar sebagai pemuncak.
Bagi pelatih Inggris, Gareth Southgate, kekalahan dalam adu
pinalti ini seperti flashback ke dua puluh lima tahun lalu, ketika tendangan
pinaltinya digagalkan kiper Jerman, Andy Kopke, pada Piala Eropa 96. Kegagalan
yang membuat Inggris tersingkir. Momen kegagalan Southgate pada 96 seakan
menjadi ‘tolok ukur’ bagi momen-momen kegagalan timnas Inggris selanjutnya. Yang
lebih membuatnya tragis adalah kejadian tahun 1996 dan 2021 sama-sama terjadi
di Wembley.
Kecewa? Pasti.
Apakah memutuskan untuk berhenti mendukung Inggris?
Tentu tidak. Saya sudah terlalu terlatih untuk hal semacam
ini.
Dan andai saya ingin berhenti pun, saya tidak tahu caranya.
It’s not coming home yet.
No comments:
Post a Comment