Wednesday, July 21, 2021

It's Not Coming Home Yet

Agak surreal rasanya melihat Inggris memastikan diri berlaga di laga puncak Piala Eropa 2020 setelah meniup padam sumbu tim dinamit Denmark di babak semifinal. Sejujurnya, rasa takjub sudah muncul ketika Raheem Sterling dan Harry Kane memaksa panser Bavaria pulang kandang di babak 16 besar. Girang tentu saja, tapi tak berani berharap lebih, mengingat bagaimana reputasi Inggris dalam menghancurkan harapan pendukungnya sendiri, terutama dalam turnamen besar. Tapi toh, kalimat sakral itu terlalu sulit untuk tidak diucapkan: It’s coming home.

Sejauh ingatan, terakhir kali saya menggantungkan harapan tinggi bahwa Inggris akan berprestasi adalah pada Piala Dunia 98 yang pupus ketika The Three Lions ditekuk Argentina di perempat final dengan David Beckham sebagai pesakitannya. Selepas itu, saya tak pernah benar-benar berharap Inggris akan memenangkan sesuatu. Langit biru, rumput hijau dan Inggris akan selalu butut dalam turnamen.

---

Dua puluh tiga tahun dari malam di Geoffroy-Guichard, harapan itu timbul kembali untuk pertama kalinya. Inggris akan menghadapi Italia dalam partai final di Wembley. Kondisi yang tidak bisa lebih tepat lagi untuk mewujudkan narasi It’s Coming Home.

Gol cepat Luke Shaw – yang posturnya mengingatkan saya pada Wayne Rooney - ke gawang Gianluigi Donnarumma di awal laga seolah menegaskannya: kisah heroik Inggris sudah berjalan sesuai skenario yang tertulis dalam takdir. Tiap pendukung Inggris pun semakin yakin tanah perjanjian semakin dekat. Namun rupanya Leonardo Bonucci salah membaca script. Alih-alih kerepotan menahan gempuran Inggris, centre-back Juventus itu malah mencetak gol ke gawang Jordan Pickford yang membuat kedudukan seimbang.

Saat hasil pertandingan harus ditentukan lewat adu pinalti, sesungguhnya saya sudah tak berharap banyak Inggris akan menang karena Inggris memiliki catatan buruk dalam tos-tosan. Sebut ini kutukan atau apa saja sesuka anda, tapi bisa-bisanya semesta sempat membesarkan kembali harapan kami, para pendukung Inggris, saat penendang kedua tim Azzuri, Andrea Belotti, tendangannya berhasil diblok Jordan Pickford. Sayangnya, tiga eksekutor terakhir Inggris semuanya gagal yang membuat Itali keluar sebagai pemuncak.

Bagi pelatih Inggris, Gareth Southgate, kekalahan dalam adu pinalti ini seperti flashback ke dua puluh lima tahun lalu, ketika tendangan pinaltinya digagalkan kiper Jerman, Andy Kopke, pada Piala Eropa 96. Kegagalan yang membuat Inggris tersingkir. Momen kegagalan Southgate pada 96 seakan menjadi ‘tolok ukur’ bagi momen-momen kegagalan timnas Inggris selanjutnya. Yang lebih membuatnya tragis adalah kejadian tahun 1996 dan 2021 sama-sama terjadi di Wembley.

Kecewa? Pasti.

Apakah memutuskan untuk berhenti mendukung Inggris?

Tentu tidak. Saya sudah terlalu terlatih untuk hal semacam ini.

Dan andai saya ingin berhenti pun, saya tidak tahu caranya.

It’s not coming home yet.

No comments:

Post a Comment