Friday, February 19, 2021

Antara Neo dan Silent City: Lisa Adalah Kunci

Pandemi tampaknya membuat kepala ini terlalu lama usang tak tercerahkan. Dan akhirnya pantik bara itu datang, tak jauh-jauh, asalnya dari lingkaran terdekat.

Perayaan dalam bayangan di malam yang gigil paska satu porsi tempe-telur yang meledak: pertunjukan dansa dansi berjudul Neo. Pemrakarsanya adalah seorang kawan baik seperjuangan sejak era gigit besi. Pendaran teatrikal serba biru dari seluruh koloni beroploskan kontemporer hingga funk style mencekat seisi gedung dalam enam puluh menit yang hening. Gedung yang sama di mana saya menonton Efek Rumah Kaca lima belas tahun silam; senandungkan Desember dalam barisan sambil mencuri pandang ke sosok manis berambut pendek di bawah sana.

---

Satu rotasi kemudian, datang lesatan meteor lain menabrak kepala. Datangnya dari duo orang setengah tua yang menolak menyerah pada laju usia: dokumenter bertajuk Silent City. Empat puluh delapan menit tanpa tedeng aling-aling berisikan problematika ranah kreatif kota ini, lengkap dengan ugly truth yang terserak di sepanjangnya. Menampar pedas tiap pipi anak muda (atau paling tidak yang masih merasa muda) dan pelaku kancah di kota Solo.

Setelah selesai menontonnya, saya hanya ingin mengatakan:

Solo itu udah keren, gak perlu jadi Jogja.

---

Terinspirasi? Bisa iya, bisa tidak.

Bisa jadi hanya rasa bosan berkepanjangan yang telah sukses dirobohkan.
Kesegaran sesaat di tengah gersang dan riuh rendah Clubhouse di lini masa. Sementara hal terbaik yang saya lihat di internet hari ini adalah liukan perut beracun Lalisa Manoban beralaskan Tomboy-nya Destiny Rogers.

Oh my me, oh my God. How'd this girl get so fly?

No comments:

Post a Comment