Dulu saya tidak pernah
sekalipun mengaku sebagai penggemar Sheila On 7 sebagaimana saya membaptis diri
sebagai penggemar Slank, misalnya. Bagi saya gerombolan
asal Jogja itu hanya salah satu dari sekian banyak band yang berseliweran di
kancah musik pop Indonesia tanpa ada sesuatu yang membuat mereka menjadi spesial,
paling tidak bagi saya. Tapi ternyata saya salah. Ternyata saya termasuk dalam
barisan Sheila Gank – yang sempat saya tuding sebagai fanbase dengan nama paling katrok se-Indonesia – yang jika
dibariskan jumlahnya mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan kepala.
Saya baru menyadarinya ketika
dalam beberapa tahun belakangan saya beberapa kali menonton konser kolektif
dengan reputasi paling mentereng yang dulu di awal kemunculannya banyak dilabeli
sebagai band ndeso itu. Hal yang sama
selalu muncul dalam beberapa kesempatan berbeda: saya nyaris selalu hafal semua
lagu yang dibawakan dalam repertoar dan tiap lagunya mengandung muatan
nostalgia yang mengalir deras lewat tiap bait yang terlantang serak. Ekstase. Rasanya
seperti mengurut alur hidup sendiri secara musikal. Dan saya harus berterima
kasih untuk Akhdiyat Duta Modjo dan kawan-kawan untuk hal itu.
Tak terpungkiri Sheila On 7
mengisi hampir seluruh fase dalam masa remaja saya. Lagu-lagu milik mereka
berlalu lalang dalam indera pendengar dalam kurun waktu yang cukup lama untuk
membuatnya terekam di alam bawah sadar. Saya mendengarnya hampir di semua tempat
dan waktu: di layar MTV, waktu senggang di kamar, radio, pusat perbelanjaan,
kampus hingga saat lagu-lagu itu terputar sayup lewat Winamp dari dalam kamar kos
seorang kawan sementara sepasang sepatu perempuan yang lupa dimasukkan
tergeletak tepat di depan pintu kamarnya yang terkunci.
“Dan” tentu saja menjadi yang
pertama dari semuanya. Masih membayang jelas intro-nya yang ikonik terputar
lewat tape deck ketika sleeve hijaunya tergeletak sembarangan
di tempat tidur kamar yang berantakan. “Kita” ada di urutan selanjutnya. Sayang
lagu ini akan selamanya terkenang sebagai soundtrack film Lupus nya Irgi Fahrezi yang jelek minta ampun itu. Sedangkan “Anugerah
Terindah Yang Pernah Kumiliki” memberi saya dan banyak anak SMP lain di luar
sana pada saat itu kesempatan untuk merasa cool
karena sukses memainkan sebuah lagu pop dengan gitar secara benar. Salah
satu lagu yang saking manisnya bisa membuat anda terkena diabetes bila terlalu
sering mendengarkannya.
“Sebuah Kisah Klasik” bisa jadi adalah lagu
Sheila On 7 yang paling dalam menancap bagi saya. Mengingatkan saya kepada beberapa
orang sahabat semasa kuliah yang dengan merekalah saya menghabiskan waktu setiap
hari dengan membicarakan ide-ide sembrono yang sok tahu dan mimpi-mimpi kosong
khas usia dua puluh dua, jika tidak sedang sibuk bercerita tentang hitam putih
asmara.
Bersenang-senanglah. Karena hari ini yang kan kita rindukan.
Di hari nanti. Sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Begitu Eross Chandra menulis. ‘Hari
ini’ itu pun kini sudah menjadi kisah klasik ketika ‘masa depan’ itu telah
menjelma menjadi hari ini. Dan kami akan selamanya merindukan ‘hari ini’ itu. Dan
“Sahabat Sejati” serta “Melompat Lebih Tinggi” menggenapi semuanya.
Ah, dan bagaimana mungkin saya
bisa melupakan “Pria Kesepian” yang sempat ditahbiskan menjadi anthem para kaum
tuna asmara? Atau bagaimana saya bisa lupa ketika lewat “Sephia” Sheila On 7
memberi sebutan yang jauh lebih anggun kepada kekasih gelap jauh sebelum
istilah pelakor yang memuakkan itu memenuhi udara? Bagaimana pula saya bisa
lupa ketika “Itu Aku”, “Pemuja Rahasia”, “Yang Terlewatkan” dan “Mudah Saja”
terlantun lewat kocokan gitar murah dan teriakan lantang bersanding dengan
ilingan arak menggelontor kerongkongan dan merendam lambung yang membantu agar
keluh kesah tentang patah hati atau jatuh cinta meluncur lebih lancar.
Berkeliling dan bercerita.
Saya tahu saya tak sendiri. Banyak
orang di luar sana yang sebagian hidupnya merasa terwakilkan oleh lagu-lagu
Sheila On 7. Rasa yang terekam dalam pita dan cakram, atau bahkan arsip unduhan
illegal dari seri Sheila On 7 hingga Musim Yang Baik, atau yang teranyar
single “Lagu Favorit”. Untuk saya dan mereka, Sheila On 7 adalah kita. (Arthur Garincha)
Picture: sheilaon7.com
No comments:
Post a Comment