“Hidup itu gak susah sebetulnya, gengsinya yang bikin susah”, seloroh
seorang kawan dalam sebuah sesi berbincang mengomentari gaya hidup mayoritas
masyarakat Indonesia hari ini. Tidak semua memang, namun reratanya seperti itu.
Gengsi, saat ini, adalah kebutuhan tersier yang (dipaksa) naik kasta menjadi
kebutuhan primer.
Pun gengsi tak memandang umur, gender, kemampuan finansial dan status
sosial. Para orang tua dari kelas menengah berlomba membuat pesta
pernikahan semewah mungkin – tak jarang
hingga berhutang - untuk anak gadisnya agar status sosialnya terelevasi ke
tingkat tertentu yang diharapkan atau sekedar hanya agar tidak “kalah” dari
sanak famili atau rekan sejawat yang juga menikahkan anaknya dalam waktu berdekatan.
Di saat yang sama seorang mahasiswa rantau asyik nongkrong di warung kopi
Amerika nan fancy di tengah hutan
beton metropolis demi satu atau dua postingan di Instagram sementara orang
tuanya yang buruh tani membanting tulang di desa untuk mengirim uang bulanan
tanpa tahu bahwa anaknya alih-alih menjadi mahasiswa teladan di kota justru
banting setir menjadi atlet dari cabang panjat sosial.
Lucunya, semua itu dilakukan sering kali tanpa tujuan yang
membahagiakan. Agar dianggap “wah” dan membuktikan kepada orang lain bahwa kita
pun bisa melakukan apa yang mereka lakukan adalah salah dua alasannya. Ingin
membuat orang lain, biasanya justru adalah orang yang tidak disukai, iri adalah
alasan lainnya yang sering dijadikan sebab. “We buy things we don’t need with
money we don’t have to impress people we don’t like”, begitu kata Chuck
Palahniuk dalam Fight Club. Iya, gila
memang.
Gengsi sangat mirip dengan kolesterol. Ya, senyawa yang dianggap
brengsek dan ditakuti sebagian umat manusia itu.
Meniadakan kolesterol, seperti halnya pula gengsi, dalam hidup kita
adalah, meminjam kalimat Asmuni, hil yang mustahal. Itu adalah hal yang
natural. Rumput hijau, gula manis dan manusia punya kolesterol maupun gengsi. Yang
bisa kita lakukan adalah mengontrolnya agar tetap dalam batas yang wajar dan
tidak merugikan. Hal ini sangat penting untuk diingat demi kebaikan anda
sendiri, karena kolesterol dan gengsi pada dasarnya mempunyai satu kesamaan:
kalau ketinggian bisa bikin pusing.
Kandungan kolesterol yang tinggi didapat dari kebiasaan mengonsumsi
hal-hal yang sebetulnya tidak kita butuhkan demi pemenuhan keinginan secara
berlebihan. Demikian pula adanya gengsi. Semakin kita menuruti hasrat untuk
memenuhi keinginan-keinginan kurang penting itu maka tanpa kita sadari
kadar gengsi pun akan semakin tinggi. Jika terlanjur tinggi akan sedikit sulit
memang untuk menekannya ke bawah. Maka lebih baik mencegah daripada mengobati
bukan?
Bolehlah sekali-sekali makan makanan berlemak sepuasnya atau membeli sneakers seharga setengah gaji sebulan.
Kali terakhir diperiksa dua hal itu tidak masuk dalam kategori tindak kriminal
jadi sah-sah aja untuk dilakukan. Silahkan. Yang tidak disarankan adalah untuk
melakukannya lebih sering dari kemampuan anda. Jika anda nekat maka bersiapah
untuk dilanda pening yang amat sangat, yang entah disebabkan oleh pembuluh
darah di sekitar kepala yang tersumbat lemak atau jumlah pengeluaran bulanan
yang lebih besar dari penghasilan.
Maka dari itu amat penting untuk kita semua, saya dan anda, untuk
melindungi diri dari monster tak berwujud namun amat berbahaya bernama gengsi.
Harus kita pahami dan sepakati bahwa gengsi adalah hal tak terpisahkan dalam
diri seorang manusia, kecuali nama anda adalah Tong Sam Cong. Namun sebagai
manusia yang diberkahi akal budi dan pikiran semestinya kita mampu mengendalikan
gengsi dalam diri kita.
Cara yang paling sederhana adalah dengan bersyukur dengan apa yang
kita miliki saat ini. Rumput tetangga mungkin memang terlihat lebih hijau tapi
siapa tahu di tanah kita yang panas dan berpasir justru terkandung minyak bumi
jika digali lebih dalam. Akan sayang sekali bila kita menghabiskan waktu yang
kita miliki untuk berusaha menumbukan rumput untuk menyaingi tetangga ketimbang
menggali minyak bumi itu.
Lagipula apakah anda tahu salah satu akibat yang mengancam dari
kolesterol dan gengsi yang tingginya sudah melewati batas? Betul sekali:
stroke. (Arthur Garincha)
No comments:
Post a Comment