Monday, June 13, 2011

Bukan Sekedar Sumpah

28 Oktober 1928, tiga butir sumpah itu diikrarkan dengan lantang sebagai perwujudan kecintaan dan ‘kontrak seumur hidup’ para pemuda-pemudi Indonesia pada tanah airnya. Dan akhirnya menjadi satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah republik ini. Sekarang, setelah delapan dekade, apakah kita kaum muda masih ingat dan peduli akan arti pentingnya sumpah itu? Atau lebih ironis lagi, apakah kita masih hafal untuk melafalkannya kembali hari ini?

Untuk menghafal mungkin itu perkara mudah. Tapi tidak demikian dengan pengaplikasiannya dalam hidup sehari-hari. Coba kita lihat di sekitar kita dan diri kita sendiri, kaum muda seperti sudah kehilangan kebanggaan dan kecintaan terhadap negerinya sendiri. Mereka lebih suka mengadaptasi dan mengkonsumsi hal-hal yang berbau asing, mulai dari makanan, fashion, musik, lifestyle dan pola pikir. Bahkan mereka lebih bangga berbahasa Inggris, Mandarin atau Perancis daripada berbahasa Indonesia, yang jelas-jelas kontradiktif dengan butir terakhir sumpah sakti itu.

Tapi apakah pemuda Indonesia benar-benar telah kehilangan kecintaan dan kebanggaan pada tanah airnya? Sepertinya bukan ‘hilang’ tapi lebih tepatnya ‘lupa’. Ya, kaum muda saat ini mungkin lupa bahwa mereka mempunyai tanah air yang sangat luar biasa. Dan saat ini, hantaman masalah demi masalah yang mendera Indonesia telah mengubur keluarbiasaan itu dan rasa bangga kita terhadap negeri ini dalam puing-puing keterpurukan. Adalah tugas kita semua untuk menyingkirkan puing-puing itu dan menemukan kembali rasa bangga dan nasionalisme. Untuk mempertebal kembali warna merah pekat dan putih yang bersih dalam hati dan pikiran kita yang sempat memudar. Rasa kecintaan itu pasti masih ada dalam diri semua pemuda Indonesia. Tinggal bagaimana kita mengangkat rasa itu ke permukaan, karena tamaknya rasa itu telah terbenam cukup dalam.

Coba ingat, bagaimana marahnya kita saat negara tetangga berusaha ‘mencuri’ kebudayaan negeri ini. Coba rasakan bagaimana bangganya kita memakai kaos bergambar burung garuda atau bertuliskan ‘Indonesia’ di tengah keramaian. Atau bagaimana darah ini berdesir ketika menyaksikan tim nasional bulutangkis atau sepakbola kita berlaga dalam event internasional lewat televisi. Semua itu adalah bukti sahih bahwa kebanggaan itu masih lekat dan tidak beranjak kemanapun.

Bila ada seorang pemuda berkata: ‘Tidak perlu memikirkan hal-hal begitu. Kita kan masih muda, kita bisa apa sih?’, mungkin anak muda ini harus ditampar dengan keras agar tersadar dari tidurnya yang panjang atau mungkin dia harus mengganti kacamatanya yang usang, mengganti kacamata apatisnya dengan kacamata berlensa optimis.

Banyak sekali anak muda yang telah membawa dan mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia lewat bidangnya masing-masing: iptek, olahraga, kesenian, akademis, dll. Apa kita tidak iri dan ingin menjadi seperti teman-teman kita itu? Yang bisa dengan gagah mengibarkan merah putih lewat karya dan prestasinya. Dan bila kita berkaca pada sejarah, para pemuda selalu menjadi barisan terdepan dalam kelahiran peristiwa-peristiwa bersejarah Indonesia. Mulai dari sumpah pemuda, peristiwa 10 November, peristiwa Rengasdengklok yang akhirnya membuahkan proklamasi kemerdekaan sampai peristiwa Reformasi tahun 98. Pemuda selalu menjadi motor utama dalam pergerakan-pergerakan penting itu. Apakah kita akan tetap berkata: ‘Anak muda bisa apa?’? 

Bukalah buku sejarah, cari bab tentang sumpah pemuda, lafalkan naskah sumpah itu dengan lantang, dan selanjutnya mari kita buktikan bahwa itu bukan sekedar sumpah!!

*tulisan saya yang digunakan sebagai narasi dalam acara peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2010, di kampus

(Arthur Garincha)

No comments:

Post a Comment