Thursday, January 1, 2015

Begini Begini Saya Juga Anak Band

Sejak dulu saya sering dikira anak band. Entah kenapa. Mungkin karena gaya saya yang cenderung tengil, yang menurut banyak orang identik dengan anak band, atau mungkin karena wajah saya yang mirip Chris John Martin.

Orang-orang di sekitar saya selama sepuluh tahun terakhir kebanyakan mengenal saya sebagai penari, selain sebagai pria dengan raut wajah kemampleng. Sebuah hal yang normal mengingat menari adalah hal yang konsisten saya lakukan sejak 2004, selain mendukung Manchester United tentunya. Namun sebelum saya berkenalan dengan dunia breakin dan hiphop saya adalah seorang anak band. Fakta yang tidak banyak diketahui orang.

Persinggungan pertama saya dengan alat musik terjadi saat saya duduk di kelas 4 SD dan alat musik yang pertama saya pelajari adalah piano karena kebetulan di rumah ada piano milik ibu. Tapi itu tidak berlangsung lama karena belajar piano membuat saya bosan dan pada saat itu saya beranggapan piano bukan alat musik yang cool dan hanya cocok untuk orang tua. Tanpa membuang banyak waktu saya beralih ke gitar. Saya sering melihat gaya para gitaris di TV ataupun majalah dan di mata saya itu terlihat sangat keren. 'Ini dia! Saya akan jadi gitaris! Piano? Huh, apa itu, gak keren', begitu pikiran saya waktu itu. Keputusan yang bertahun-tahun kemudian saya sesali karena pada akhirnya saya terkagum-kagum dengan piano.

Di awal proses belajar semua terasa begitu mudah. Tiga chord pertama yang saya pelajari - G, C dan D - saya kuasai dalam waktu singkat. Lagu pertama yang diajarkan pada saya adalah Burung Kakak Tua. 'Ini sih lagu untuk bocah. Enteng', kata saya jumawa dalam hati. Padahal waktu itu saya pun masih bocah, jadi berdasar premis yang saya ucapkan lagu itu sangat cocok untuk saya. Tanpa kesulitan yang berarti Burung Kakak Tua pun saya taklukan. Merasa sudah jago saya berinisiatif untuk mempelajari lagu yang dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Saya memilih Kirana nya Dewa 19. Dan saya menyerah dengan sukses.

Karir saya sebagai anak band pun dimulai sejak dini: kelas 6 SD. Bersama teman-teman sekomplek yang sebaya membentuk sebuah band tanpa nama. Kami memainkan lagu-lagu yang sedang hits di masa itu seperti Bintang nya Air dan Dongeng Sebelum Tidur nya Wayang. Lima anak ingusan dengan skill semenjana bermain musik dalam sebuah band, dapat dibayangkan bagaimana output-nya. Amburadul. Bencana. Ahmad Dhani dan Maia Estianti pasca perceraian pun masih lebih kompak daripada band kami.

Band kedua saya tebentuk ketika berseragam SMP. Tepatnya saat duduk di kelas 3. Bersama tiga orang teman sekelas saya kembali membuat band, lagi-lagi tanpa nama. Kami sepakat untuk memainkan lagu-lagu milik Boomerang dan Jamrud dan rutin berlatih di studio Ababil yang kini namanya menjadi urban legend di skena musik kota Solo. Band anonim ini bertahan sekitar dua tahun dengan hanya satu kali naik panggung, yaitu ketika ujian praktek mata pelajaran seni musik saat kelas 3. Awalnya kami berencana membawakan lagu Surti Tejo milik Jamrud, bahkan vokalis kami sudah berangan-angan untuk naik panggung dengan kupluk plus kacamata hitam agar semakin Krisyanto-esque, namun niat itu kami urungkan karena takut tidak diluluskan dan harus berhadapan dengan guru BP karena dianggap sebagai sekumpulan anak-anak SMP pervert yang menyanyikan lagu tidak senonoh. Akhirnya kami membawakan Poprocks & Coke nya Green Day. Setelah itu band kami pun bubar.

Di SMA saya kembali ngeband. Berbeda dengan dua band sebelumnya kali ini saya tidak sepenuhnya berhasrat untuk benbenan. Saat itu kami duduk di kelas 3, ketika di sekolah kami, yang nama slang nya enggak banget itu, akan diadakan pensi tahunan. Tidak seperti pensi-pensi jaman sekarang yang mendatangkan berbagai guest star kondang, pensi di masa saya lazimnya hanya berupa parade band dan lomba basket/sepakbola. Sudah menjadi tradisi di sekolah kami setiap ada pensi tiap kelas akan mengikutsertakan satu band terbaiknya dalam parade band. Sialnya di kelas saya waktu itu sama sekali tidak ada yang bermain band karena kami semua terlalu sibuk membolos ke Tlatar, bermain billiard di Megaland atau dugem di Musro.

Sebagai kelas 3 muka kami jelas akan tercoreng bila tidak mengirimkan satu band pun. Barisan pun dirapatkan dan bermuara pada satu keputusan genting: kami akan membuat band dadakan yang akan hanya tampil di pensi, setelah itu bubar. Pensi pun tiba, kami tampil dengan sangat percaya diri, walapun kenyataannya permainan kami compang-camping karena kurangnya latihan. Ajaibnya, kami keluar sebagai runner up! Padahal banyak band yang lebih bagus. Untung bagi kami saat itu belum ada Twitter, bila sudah pasti kemenangan kami akan disebut karena campur tangan Yahudi dan kami akan dilabeli sebagai antek Amerika. Padahal kami menang dengan fair. Kebetulan saja Ketua dan Wakil Ketua OSIS saat itu memang ada di kelas kami dan kebetulan juga teman kami yang Ketua OSIS menjadi salah satu juri.

Band saya di SMA, yang bernama Nothing Else, itu adalah band terakhir saya sekaligus sebagai pencapaian tertinggi saya dalam dunia musik. Bukan, bukan karena kemenangan di pensi itu. Tapi sesudahnya.

Beberapa minggu setelah pensi di Solo diselenggarakan sebuah audisi tertutup untuk acara Liga Band Sekolah (LIBAS), program milik Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang kini berganti nama menjadi MNC TV. Tiap sekolah yang ditunjuk diminta mengirimkan satu band sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti audisi, yang diharapkan tentu band terbaik di sekolah itu. Sebagai salah satu SMA terkemuka di Solo sekolah saya tentunya menjadi salah satu yang mendapat invitasi. Dan kontroversi itu pun terjadi. Band kami yang dipilih untuk mewakili sekolah. Banyak yang bertanya-tanya mengapa bukan band yang jadi juara 1 di pensi kami yang dipilih? Entahlah. Saya sendiri juga mempertanyakan hal yang sama. Hanya sebuah kebetulan jika band juara 1 itu adalah band anak kelas 2, sedangkan kami adalah senior mereka, kelas 3, dan kebetulan juga yang menunjuk band yang akan mewakili sekolah adalah OSIS, yang kebetulan ketua dan wakilnya ada di kelas kami.

Singkat kata, kami pun ikut audisi dan menjadi salah satu dari tiga band yang lolos ke fase selanjutnya di Jakarta dan akan disiarkan di TPI. Kami pun luar biasa bersemangat. Semakin bersemangat ketika sekolah memberi izin khusus pada kami untuk tidak mengikuti jam pelajaran untuk berlatih. Bolos legal untuk ngeband. Indah sekali. Kami berangkat ke Jakarta dengan asa berlipat dan semangat berkobar bahwa kami bisa berbuat sesuatu di ibukota. Tapi takdir berkata lain. Saat di panggung kami kacau balau. Nervous membuatnya lebih parah. Kami memulai dengan keyakinan akan menembus babak berikutnya namun satu-satunya babak yang kami dapat adalah babak belur.

Selepas LIBAS Nothing Else bubar dan saya tidak pernah ngeband lagi hingga tulisan ini dibuat. Tapi paling tidak jika seseorang tiba-tiba bertanya: 'Dulu pernah ngeband?', saya bisa menjawab: 'Pernah. Malah pernah sampe masuk TV'. (Arthur Garincha)


No comments:

Post a Comment