Friday, June 21, 2013

Idealis Meh

Idealisme.

Sebuah kata yang sangat seksi untuk anak muda atau yang merasa muda, terutama mahasiswa, lebih spesifik lagi mahasiswa di atas semester tiga. Kenapa idealisme begitu seksi di kalangan sebagian besar mahasiswa? Mungkin karena mahasiswa merasa dirinya sudah dewasa dan berhak menentukan apa yang mau dia lakukan. Juga mungkin karena mereka baru mendapat informasi dan ilmu yang asing buat mereka sebelum memasuki bangku kuliah. Bagaikan samurai pemula yang baru saja diberi katana asli sebagai pengganti pedang kayu yang dipakai selama latihan dasar, para mahasiswa menebas semua hal yang dianggapnya tidak sejalan dengan mereka dengan senjata yang mereka anggap super tajam dan tak terkalahkan bernama idealisme.

Saya pun pernah menjadi samurai pemula itu. Bersama teman-teman samurai lain yang sama amatirnya dengan saya. Kami tebas semua dengan 'senjata' kami. Kadang kami harus saling berhadapan karena kami beda 'aliran' dan 'perguruan'. Dulu, kami seakan saling berlomba untuk menjadi seorang mahasiswa idealis. Dasarnya? Tidak jauh-jauh dari buku atau artikel di internet yang kami baca, atau dari meniru apa yang idola kami lakukan.

Masa sebagai mahasiswa memang masanya untuk berkoar-koar soal idealisme. Karena setelah lulus kehidupan nyata sudah menunggu. Kehidupan nyata yang kejam. Yang tak segan untuk merontokkan semua idealisme yang kita agung-agungkan sebelumnya dengan hanya sekali tinju.

Waktu kuliah di jurusan periklanan salah dua idealisme yang paling banyak dianut oleh kami para mahasiswa adalah:

'Tidak akan menuruti begitu saja keinginan klien dalam mengerjakan desain'

dan

'Saya gak mau jadi pegawai. Saya akan jadi wiraswasta dan jadi bos'.

Namun kemudian ketika memasuki dunia kerja nyata pun sebagian besar dari kami menyerah pada kuasa dan tamparan rupiah para klien, sebagian besar lainnya menyerah untuk berwirausaha dan mengikhlaskan diri menjadi karyawan, yang dulu bagaikan pekerjaan haram yang harus kami hindari. Itu baru satu contoh dari banyak yang dulu kami suarakan dengan lantang dan sekarang kami tinggalkan begitu saja dengan dalih 'Ah, dulu kan kita masih muda'.

Belum lama ini terjadi percakapan di group WhatsApp bersama teman kuliah saya soal ini. Sekedar informasi, sebagian besar dari kami adalah para pembual dengan mulut besar yang tahan berjam-jam membahas dan berdebat soal idealisme kami masing-masing. Kami pun kenyang diberi label 'sok idealis'. Di percakapan digital itu kami sepakat untuk menyerah dan berdamai dengan realita yang akhirnya mengharuskan kami untuk melucuti sebagian idealisme yang dulu kami suarakan dengan lantang.

Tapi dibalik pengibaran bendera putih itu kami juga sepakat untuk bersyukur pernah mengalami fase sebagai orang-orang (sok) beridealisme, karena sesungguhnya nilai-nilai itu tidak sepenuhnya hilang dari diri kami, ibarat kayu yang pernah ditancapi dengan paku walaupun pakunya dicabut bekasnya akan tetap ada, hingga kayu itu musnah suatu hari nanti.

Dan itu kami yakini sebagai hal baik.

(Arthur Garincha)

1 comment: